May 4, 2011

Don't Fed up!

Free Writing, Jangan Berhenti Menulis. Tuliskan apa saja yang ada di pikiran. Jangan takut tidak terorganisir. Ini bukan masalah editing, ini masalah menulis.

###
Selalu Rabu yang membuatku kelelahan. Aku harus pergi ke kelas pagi jam 8.30 di gedung terjauh dari asramaku untuk kelas American Government, lalu segera disambung kuliah Jurnalistik di gedung paling jauh dari gedung pertama. Selesai dari kelas Jurnalistik, aku pasti mampir ke gedung pusat komputer untuk menggarap tugas yang lain. Saat ini aku sedang duduk di depan komputer, menyelesaikan essay untuk kelas malam nanti, Public Speaking. Hari ini ada sedikit kelegaan, karena kelas menulisku sudah selesai, tinggal belajar untuk ujian ahir minggu depan.



Aku selalu yakin, aku bisa mengerjakan semuanya tepat waktu. Yang menjadi penyakit akutku hanyalah suka menunda-nunda sampai menit terahir. Aku ini seorang procrastinator. Khususnya untuk urusan menulis, aku paling parah. Dengan dalih belum mendapatkan inspirasi, aku tak mau bersusah payah memaksa otakku untuk bekerja lebih awal. Pernah aku mencoba mengerjakan tugas ahir kelas menulisku, 2 bulan sebelum deadline pengumpulan, nyatanya tidak berhasil. Padahal tugasnya lumayan mudah, hanya diminta menuliskan cerita pendek sebanyak minimal 6 halaman. Sudah dipaksa untuk berfikir, tapi belum terbayang apa yang hendak ditulis. Tak ada ide. Buntu. Sampai berminggu-minggu selanjutnya, belum ada ide untuk tulisanku. Satu bulan lagi menjelang pengumpulan. Instruktur kelas kami meminta proposal cerita untuk tugas ahir. Hm, sedikit ada ide tentang cerita dua orang pemulung di negeriku. Aku sedikit ada gambaran mau dibawa ke mana alur ceritaku. Instrukturku menyetujui, dengan catatan cerita ini adalah fiksi literatur, jika aku bisa membawanya dalam nada yang tidak hipotetikal dan tidak klise. Aku mengiyakan saja.

Dua minggu berlalu. Aku belum melanjutkan cerita itu. Sebenarnya sudah kucoba minggu sebelumnya, namun rasanya banyak hal yang tidak aku ketahui dari dunia pemulung. Aku cari bahan lewat internet, majalah, jurnal, koran, blog, dan lain-lain. Tidak kutemukan gambaran utuh tentang mereka. Tapi bisa juga karena ku tidak teliti saat browsing. Ahirnya satu minggu sebelum pengumpulan, aku mendapatkan ide baru. Kutulis draft ceritaku dalam waktu semalam, sampai sedikit begadang. Keesokan harinya aku harus pergi memeriksakan grammatical error dari tulisanku. Memang ahirnya selesai tepat waktu, tapi pasti kurang perhatian. Untunglah ada waktu satu bulan lagi untuk merevisi draft cerita kami setelah dipresentasikan di depan kelas. Aku berjanji tak akan lagi menunda-nunda, harus memaksa otak tumpulku untuk berfikir mengedit, mengedit, dan mengedit. Apalagi saat tak sengaja mataku membaca deretan mimpi yang tertulis rapi di atas secarik kertas yang menempel di meja belajar, "Penulis Novel Religi Best Seller". O really? Segera kuambil cerita pendekku dalam Bahasa Inggris itu. Kuamati dengan cermat. Kuutak atik ide-ide yang kacau, kuperbaiki alurnya, kubuat tambahan yang menguatkan karakter masing-masing nama dalam cerita itu. Kubaca ulang catatanku selama di kelas. Oh, ternyata menulis itu menyenangkan.

Aku jadi teringat dulu aku pernah ingin menjadi wartawan. Itu cita-citaku sewaktu SMP. Sampai-sampai aku menulis banyak berita yang aku ciptakan sendiri dengan gaya wartawan profesional, dan tentu saja hasilnya aneh. Lalu saat SMA aku terpilih sebagai wartawan sekolah oleh sebuah harian pagi lokal. Saat itu semangat menulisku kambuh. Aku tak bisa berhenti menulis dan membaca. Aku menulis belasan cerita pendek, berita karanganku sendiri, artikel tentang orang-orang terkenal. Aku juga selalu meluangkan 10 menit dari waktu belajar malamku untuk menulis diary yang sepertinya masih kusimpan rapi sampai sekarang. Sejak menjadi wartawan sekolah, beberapa berita lokal, artikel, dan cerpenku pernah dimuat. Inilah Golden Agesku.

Mau tahu bagaimana aku terpuruk setelah cukup semangat berkarya? Dua tahun selanjutnya aku menangis, saat mendapati kemampuan menulisku benar-benar tumpul. Sekedar menggambarkan latar tempat saja, hasilnya jelek. Itu karena aku tak pernah lagi LATIHAN MENULIS, tak begitu aktif menuliskan diary, tak lagi membuat berita karanganku sendiri, tak lagi mencoba-coba membuat cerita pendek. Pernah aku mengikuti lomba menulis cerpen di kampus, tapi kalah. Terang saja, kualitas tulisanku jelek.
So, why wait? BANGUN!

###
Barusan aku ngomong apa ya?

No comments: