May 5, 2011

Kamis Malam

Kamis malam,

Jika kalian ingin melihat dunia malam sebagian mahasiswa di kampusku, pergilah melongok ke jalanan sekitar kampus pada Kamis malam. Ya, Kamis malam. Hari bebas sedunia untuk mereka. Setiap Kamis malam, club-club yang berada di Downtown akan memberikan tarif mahasiswa, yang pastinya lebih murah. Dan memang, Kamis malam itu dijuluki "college night". Rasanya aku harus secara pribadi menambah satu kata di belakangnya, yaitu "college night naudzubillah..."

ISLAM is PEACE

Probably you want to know more about Islam, how it was the Golden Ages for Islam world when the Western was in the Dark Ages. You might want to know how Islam could spread very rapidly throughout the globe. Then, watch this documentary, "Islam: Empire of Faith." You can also watch them in PBS.org. InsyaAllah, this three parts of documentary represent the true message of Islam.

Happy Watching!

Part 1


Part 2


Part 3



May 4, 2011

Don't Fed up!

Free Writing, Jangan Berhenti Menulis. Tuliskan apa saja yang ada di pikiran. Jangan takut tidak terorganisir. Ini bukan masalah editing, ini masalah menulis.

###
Selalu Rabu yang membuatku kelelahan. Aku harus pergi ke kelas pagi jam 8.30 di gedung terjauh dari asramaku untuk kelas American Government, lalu segera disambung kuliah Jurnalistik di gedung paling jauh dari gedung pertama. Selesai dari kelas Jurnalistik, aku pasti mampir ke gedung pusat komputer untuk menggarap tugas yang lain. Saat ini aku sedang duduk di depan komputer, menyelesaikan essay untuk kelas malam nanti, Public Speaking. Hari ini ada sedikit kelegaan, karena kelas menulisku sudah selesai, tinggal belajar untuk ujian ahir minggu depan.



Aku selalu yakin, aku bisa mengerjakan semuanya tepat waktu. Yang menjadi penyakit akutku hanyalah suka menunda-nunda sampai menit terahir. Aku ini seorang procrastinator. Khususnya untuk urusan menulis, aku paling parah. Dengan dalih belum mendapatkan inspirasi, aku tak mau bersusah payah memaksa otakku untuk bekerja lebih awal. Pernah aku mencoba mengerjakan tugas ahir kelas menulisku, 2 bulan sebelum deadline pengumpulan, nyatanya tidak berhasil. Padahal tugasnya lumayan mudah, hanya diminta menuliskan cerita pendek sebanyak minimal 6 halaman. Sudah dipaksa untuk berfikir, tapi belum terbayang apa yang hendak ditulis. Tak ada ide. Buntu. Sampai berminggu-minggu selanjutnya, belum ada ide untuk tulisanku. Satu bulan lagi menjelang pengumpulan. Instruktur kelas kami meminta proposal cerita untuk tugas ahir. Hm, sedikit ada ide tentang cerita dua orang pemulung di negeriku. Aku sedikit ada gambaran mau dibawa ke mana alur ceritaku. Instrukturku menyetujui, dengan catatan cerita ini adalah fiksi literatur, jika aku bisa membawanya dalam nada yang tidak hipotetikal dan tidak klise. Aku mengiyakan saja.

Dua minggu berlalu. Aku belum melanjutkan cerita itu. Sebenarnya sudah kucoba minggu sebelumnya, namun rasanya banyak hal yang tidak aku ketahui dari dunia pemulung. Aku cari bahan lewat internet, majalah, jurnal, koran, blog, dan lain-lain. Tidak kutemukan gambaran utuh tentang mereka. Tapi bisa juga karena ku tidak teliti saat browsing. Ahirnya satu minggu sebelum pengumpulan, aku mendapatkan ide baru. Kutulis draft ceritaku dalam waktu semalam, sampai sedikit begadang. Keesokan harinya aku harus pergi memeriksakan grammatical error dari tulisanku. Memang ahirnya selesai tepat waktu, tapi pasti kurang perhatian. Untunglah ada waktu satu bulan lagi untuk merevisi draft cerita kami setelah dipresentasikan di depan kelas. Aku berjanji tak akan lagi menunda-nunda, harus memaksa otak tumpulku untuk berfikir mengedit, mengedit, dan mengedit. Apalagi saat tak sengaja mataku membaca deretan mimpi yang tertulis rapi di atas secarik kertas yang menempel di meja belajar, "Penulis Novel Religi Best Seller". O really? Segera kuambil cerita pendekku dalam Bahasa Inggris itu. Kuamati dengan cermat. Kuutak atik ide-ide yang kacau, kuperbaiki alurnya, kubuat tambahan yang menguatkan karakter masing-masing nama dalam cerita itu. Kubaca ulang catatanku selama di kelas. Oh, ternyata menulis itu menyenangkan.

Aku jadi teringat dulu aku pernah ingin menjadi wartawan. Itu cita-citaku sewaktu SMP. Sampai-sampai aku menulis banyak berita yang aku ciptakan sendiri dengan gaya wartawan profesional, dan tentu saja hasilnya aneh. Lalu saat SMA aku terpilih sebagai wartawan sekolah oleh sebuah harian pagi lokal. Saat itu semangat menulisku kambuh. Aku tak bisa berhenti menulis dan membaca. Aku menulis belasan cerita pendek, berita karanganku sendiri, artikel tentang orang-orang terkenal. Aku juga selalu meluangkan 10 menit dari waktu belajar malamku untuk menulis diary yang sepertinya masih kusimpan rapi sampai sekarang. Sejak menjadi wartawan sekolah, beberapa berita lokal, artikel, dan cerpenku pernah dimuat. Inilah Golden Agesku.

Mau tahu bagaimana aku terpuruk setelah cukup semangat berkarya? Dua tahun selanjutnya aku menangis, saat mendapati kemampuan menulisku benar-benar tumpul. Sekedar menggambarkan latar tempat saja, hasilnya jelek. Itu karena aku tak pernah lagi LATIHAN MENULIS, tak begitu aktif menuliskan diary, tak lagi membuat berita karanganku sendiri, tak lagi mencoba-coba membuat cerita pendek. Pernah aku mengikuti lomba menulis cerpen di kampus, tapi kalah. Terang saja, kualitas tulisanku jelek.
So, why wait? BANGUN!

###
Barusan aku ngomong apa ya?

May 3, 2011

Relax


Selasa. Seperti biasa aku tak ada kelas hari ini. Juga tak ada lagi internshipku bersama murid-murid dari Saudi. Hari ini jadwalku hanyalah berkutat dengan project akhir. Di perpustakaan kampus, itu jawaban bagi siapapun yang ingin menghubungiku. Aku bahkan sering malas untuk sekedar bangkit mengambil jatah makan siangku di kafetaria kampus, perpustakaan tampaknya lebih menggodaku.

Aku sempatkan membuat tulisan ini, setelah menyelesaikan urusan di writing center lantai 1 perpustakaan, tempat semua mahasiswa berkonsultasi pada tutor tentang project mereka. Sebelumnya aku berada di lantai 2 untuk mengedit outlineku, lalu pergi membuat janji bertemu tutor. Saat itu pukul 1.30; aku punya waktu 30 menit untuk shalat dhuhur sebelum bertemu tutor. Hm, biasanya aku akan pergi ke lantai dua di bagian multimedia, meminta sebuah ruangan kedap suara yang dikhususkan untuk rekaman musik. Lalu pergi berwudhu di kamar mandi khusus untuk orang-orang disabilities, alasannya karena kamar mandi tersebut bilik krannya terpisah, sehingga aku bisa berwudhu dengan tenang. Lalu kembali ke ruangan kedap suara itu. Biasanya aku meminta yang tidak ada jendela, agar tak ada yang bisa melihat. Tapi kali ini ruangan itu ada yang menempati. Jadi aku shalat, dengan cukup jelas terlihat orang-orang yang lewat di dekat ruangan berjendela itu.



Seorang mahasiswa Amerika yang duduk di belakang meja informasi tempatku meminta ruangan tadi, tampaknya selalu tahu apa yang aku lakukan di dalam sana. Dia memang orang yang sama, seperti hafal kedatanganku ke ruangan rekaman itu hanya untuk shalat. ^^

Sekarang saatnya kembali berkutat dengan tugas akhir jurnalistik. :(



May 2, 2011

Palestina I'm In Love

Dari dulu saya ingin punya teman dari Palestina.

Alasannya karena saya mencintai tanah Palestina. Saya sering menangis tiap melihat penderitaan saudara-saudara di tanah para nabi itu. Makanya saya ingin punya teman Palestina yang seiman, yang bisa diajak diskusi dan berbagi tentang kondisi di sana. Rasa empati ini tak cukup jika hanya diungkapkan lewat do'a. Harus ada tindakan nyata.

Benar, saya memang tidak mempunyai kekuatan untuk membantu. Tapi saya masih mempunyai mimpi, untuk berjuang di sana dan ikut merasakan pengorbanan mereka. Ada rasa kemanusiaan yang kuat menghentak jiwa ini untuk menolong orang-orang tua, teman-teman, dan adik-adik di sana. Ada rasa kebencian yang membuncah di hati saat seorang teman asal Israel dengan bangganya menyebut itu tanah mereka.

Oleh karenanya, saya berbahagia saat siang ini,  mendapatkan satu teman baru, seseorang dari Palestina. Beliau seorang professor di kampus saya di US. Saya dipertemukan dengan beliau saat saya harus mewawancarai salah satu narasumber dari sebuah event Islami di kampus, untuk laporan di kelas Jurnalistik. Saya tidak menyangka beliaulah yang akan saya wawancarai. Akhirnya obrolan kami sampai melintas benua. Sampai ke Gaza, tempat di mana beliau berasal. Ada rasa sedih di wajahnya, saat beliau mengutarakan tidak bisa kembali ke Gaza musim panas ini. Kuutarakan juga padanya, aku ingin sekali mengunjungi Palestina. Beliau bilang "kemungkinan itu susah" tapi akhirnya beliau menguatkanku, "Tapi insyaAllah, kamu bisa ke sana." Syukran Jazeelan Dr. Saquer... ini akan menjadi langkah awalku menuju ke sana.

Biidznillah...